Ini kisah persahabatan antara ‘Auf bin Malik al-Anshari dengan as-Sha’ab bin Jatstsamah al-Muhajiri. Saking akrabnya, keduanya saling bertutur, siapa yang meninggal duluan maka yang meninggal belakangan akan datang untuk menziarahi. Taqdirnya, as-Sha’ab bin Jatstsamah al-Muhajiri meninggal lebih dulu.
Berselang lama setelah kepergian ash-Sha’ab, ia hadir dalam mimpi Auf bin Malik. Kata ash-Sha’ab yang sudah meninggal, “Mengapa engkau terlambat?”
“Bukan kita yang menentukan segala sesuatu. Semuanya ada dalam Kekuasaan Allah Ta’ala. Jika Dia Menghendaki terlepas, maka terlepaslah. Dan jika Dia Menghendaki terbelenggu, maka terbelenggulah.” jawab ‘Auf bin Malik.
Kemudian, ‘Auf bin Malik bertanya kepada sahabatnya itu, “Apakah orang yang sudah meninggal dunia bisa merasakan kehadiran orang hidup yang menziarahinya?”
“Ya.” Jawab ash-Sha’ab, “Ini buktinya.” Ash-Sha’ab menunjukkan warna hitam di salah satu lututnya.
“Mengapa lututmu berwarna sehitam itu?” tanya ‘Auf bin Malik.
“Aku memiliki hutang sepuluh dinar kepada seorang Yahudi. Aku belum sempat membayar hutangku kepadanya.” tutur ash-Sha’ab.
“Apakah anakmu mengetahui hutangmu itu?” tanya ‘Auf bin Malik.
“Tidak ada yang mengetahuinya.” jawab ash-Sha’ab.
“Pergilah ke rumahku. Ambilkan uang yang aku simpan di dinding batu.” pungkas as-Sha’ab di dalam
mimpi.
Tak lama setelah itu, ‘Auf bin Malik terbangun. Siang harinya, ia bergegas ke rumah sahabatnya itu, mencari dinding yang menggunakan batu, mengambil uang dan membayarkannya kepada si Yahudi. Jumlahnya persis sepuluh dinar.
Sesampainya ‘Auf bin Malik di rumah si Yahudi seraya membawa uang untuk melunasi hutang ash-Sha’ab, si Yahudi terbelalak. “Demi Zat yang mengutus Musa dengan kebenaran. Sungguh, tidak ada seorang pun yang mengetahui hal ini (kecuali aku dan ash-Sha’ab bin Jatstsamah).” ujar si Yahudi.
***
Kawan, apakah ada orang tua kita yang sudah meninggal dunia? Apakah ada sahabat dekat dalam iman yang sudah dipanggil Allah Ta’ala? Adakah guru, ustadz, kiyai, atau siapa pun-yang berjasa dalam hidup kita-yang lebih dulu menghadap Allah Ta’ala?
Jika sudah, seberapa sering kita mengunjunginya? Berapa kuantitas kita dalam menziarahinya? Jika tidak pernah apalagi anti-ziarah, kisah ini seharusnya menyadarkan Anda!
Wallahu a’lam.